Sabtu, 10 September 2011

Kesempurnaan Ramadhan

“Kak Leon ma Ayah belum pulang ya Bun”
“mungkin sebentar lagi”
            Kak Leon bukan saudara kandungku. Dia adalah kakak tiriku. Tidak seperti di dongeng Bawang Merah dan Bawang Putih, aku dan Kak Leon sangat akrab. Perbedaan usia kami yang hanya 2 tahun, membuat kami semakin dekat. Tak jarang kami sering bertukar cerita tentang Masalah dan kehidupan kami. Kak Leon selalu memperlakukanku seperti adik kandungnya.
            Tok..tok..tok...
“assallamualaikum” terdengar salam dari arah pintu
“wa’alaikum salam” teriakku sembari membukakan pintu
“kakak pulangnya kok sore banget sih. Mana bau apek lagi” protesku
“enak aja. Wangi gini dibilang apek. Kamu tu yang apek bau kasur” kata Kak Leon mengacak-acak rambutku
“udah-udah ribut terus”
“permaisuri kita ini Bun. Orang wangi kayak gini kok dikatain apek” sanggah Kak Leon sambil mencium tangan Bunda
            Alahu akbar alahu akbar... Azan maghrib pun berkumandang. Seperti biasa, aku dan Kak Leon selalu berebutan mengambil makanan berbuka.
Walaupun telah dewasa, Kak Leon seorang mahasiswa semester 1 di perguruan tinggi  dan aku seorang siswi kelas 2 di sebuah sekolah menengah atas, tingkah kami dirumah Masih seperti anak kecil. Hal ini yang sering aku rindukan jika kakak tidak ada dirumah.
            “Deva, Leon ingat umur. Kalian sudah dewasa, nggak pantas bertingkah seperti itu lagi. Ayo cepat shalat maghrib. Setelah itu kita makan malam” tegur Ayah
            Seperti halnya kakakku, laki-laki itu juga bukan keluarga kandungku. Dia Ayah tiriku. Bunda telah berpisah dengan Ayah kandungku sejak aku berusia 3 tahun. Ayah tiriku sangat baik dan tidak pernah membeda-bedakan aku dengan Kak Leon. Seluruh fasilitas yang kami miliki sama.
Ketika usiaku menginjak 5 tahun, Bunda menikah dengan seorang pengusaha sukses di Bandung. Dan disinilah sekarang kami berada, disebuah rumah mewah yang berada di kota Bandung. Aku dan Bunda harus meninggalkan nenek dan kakek yang berada di Surabaya untuk mengikuti usaha Ayah yang berpusat di kota bandung.
“terawih yuk kak” ajakku
“Ayah-Bunda kemana?”
“Bunda kan tadi nggak puasa, Ayah katanya lagi banyak kerjaan. Ayo dong kak.”
“iya, tunggu dibawah. Kakak ganti baju dulu”
Seusai shalat terawih, aku bergabung dengan Bunda di ruang keluarga. Seperti biasa, Bunda nggak pernah melewatkan sinetron kesayangannya.
“sinetron lagi Bun. Ceritanya gitu-gitu mulu nggak ada habisnya”
“daripada Bunda nonton kamu dengan Leon ribut, mendingan Bunda nonton sinetron. Artisnya ganteng-ganteng”
“ah Bunda. Deva juga nggak kalah cantik dengan artis siapa tu pemeran sinetron Kesempurnaan Ramadhan yang namanya Selvie”
“iya deh, anak Bunda memang paling cantik”
“tapi bohooong..”
Tiba-tiba Kak Leon mengejutkanku. Dengan segera dia duduk disampingku dan mencubit pipi tembemku pelan.
“apa’an sih kak, datang-datang langsung nyubit pipiku” ujarku mengusap-usap pipiku.
“makanya, punya pipi jangan kayak bakpau”
“Ayah, pipiku kayak bakpau ya? Nggak kan!”
“nggak kok, siapa yang ngatain pipi anak kesayangan Ayah kayak bakpau?”
“kakak yah”
Suasana keluargaku selalu ceria, jarang ada keributan yang berarti. Keluarga ini seperti anugrah. Ayah, Bunda, dan Kak Leon. Mereka adalah milikku yang berharga
***
“hati-hati disana sayang” kata Bunda sambil mengusap kepalaku
“oke  Bun”
“jaga diri, jangan jalan-jalan terus” pesan Ayah
“jangan lupa bawain oleh-oleh cewek cantik untuk kakak”
“yeee... Cewek itu yang nggak bakalan mau dengan kakak”
Seusai berpamitan, aku pun segera check in dan memasuki boarding room. Tepat pukul 11.00 WIB nanti aku akan terbang ke Surabaya menggunakan Lion Air. Cukup ramai suasana bandara pagi ini. Mungkin banyak pemudik yang akan pulang ke kapung halamannya.
Seperti halnya aku. Hampir 2 tahun aku tidak mengunjungi Ayah kandungku di Surabaya. Selain ingin bersilahturahmi, aku juga ingin melihat adik kembarku. Kabarnya istri Ayah telah melahirkan 2 orang bayi kembar ynag lucu.
Tak terasa aku telah tiba di bandara Surabaya. Sykurlah aku hanya membawa 1 koper kecil. Sehingga aku tidak perlu berdesak-desakkan menunggu antrian barang yang ditaruh dibagasi. Segera aku menuju pintu keluar dan mencari-cari Mas Andre. Kata Ayah kandungku, Mas Andre yang akan menjemputku di bandara.
Dari kejauhan samar-samar aku mendengar seseorang memanggilku. Saat aku menoleh ke kanan, ternyata Mas Andre yang memanggil. Cowok jangkung itu pun menghampiriku dan mengambil koper yang aku bawa. Tanpa berlama-lama di bandara kami segera menuju rumah Ayah.
“makasih Mas” kataku ketika Mas Andre membukakan pintu mobilnya. Mas Andre hanya memlasa dengan senyum manisnya.
Perjalanan kami tempuh dalam diam, sibuk dengan pikiran Masing-Masing. Hingga akhirnya Mas Andre memulai pembicaraan.
“kamu cantik
“ha..? Emb makasih Mas. Mas juga kelihatan semakin dewasa” kataku balas memuji
“gimana kabar Ayah, Bunda, dan Kak Leon di bandung ?”
“alhamdulilah baik. Kak Leon sering ngomongin Mas”
“ah yang bener?” Tanya Mas Andre tak percaya
“iya. Katanya Mas beli mobil baru, Mas Masuk universitas negeri, Mas liburan, Mas lagi ini, Mas lagi itu. Tiap hari nggak pernah terlewatkan tanpa cerita tentang Mas” ceritaku penuh semangat
“kamu nggak berubah ya. Tetap cerewet seperti terakhir kali kita ketemu”
“ah Mas Andre”
Baling-balling  bambu...
Terdengar suara Doraemon dari ponselku. Ada satu pesan dari Bunda.
Sayang, sudah sampai ya. Jangan lupa menemui teman Bunda dirumah Sakit Batista. Dr. Kusuma.
Dengan cepat aku mengirimkan pesan balasan
Iya Bun. Nanti Deva kesana denganmas Andre.
“Mas, Rumah Sakit Batista dimana?”
“didekat sini kok. Kami sakit?” Tanya Mas Andre khawatir
“oh nggak Mas. Bunda pesan, disuruh nemuin teman Bunda di Rumah Sakit itu”
“kamu mau Mas antar kesana?”
“iya. Sekarang aja ya kita kesana” pintaku
Ternyata Rumah Sakit Batista tiodak jauh dari bandara. Hanya menempuh waktu 25 menit. Sesampainya di rumahh sakit, Mas Andre memarkirkan mobilnya di tempat parkir terdekat. Kami pun menuju ke
Kami pun bergegas Masuk. Semerbak bau khas Rumah Sakit menerpa hidungku. Sejenak aku terkagum dengan interior bangunan ini. Sungguh luar biasa, sangat megah dan elegan. Tidak seperti Rumah Sakit pada umumnya.
            Ruang dr. Kusuma terletak di lantai 4. Aku penasaran dan bertanya-tanya, siapakah dokter itu? Apa hubungan  beliau dengan Bunda? Kenapa Bunda menyuruhku bertemu dengannya? Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku.
            Akhirnya pintu dengan tulisan DR. KUSUMA HERIAN berada didepanku. Seorang dokter berusia 40-an berada di belakang  meja kerjanya. Sinar-sinar ketampanan Masih tergambar jelas dari raut wajah sang dokter.
            “siang dok”
“siang. Silahkan duduk. Ada yang bisa saya bantu?”
“saya putri Bu Arum. Tadi Bunda menyuruh saya menemui dokter”
“Arum.... Arum Wardani?” Dokter itu tampak berpikir keras
“iya dok. Itu Bunda saya. Ada apa ya dok”
“oh tidak apa-apa. Bagaimana kalau kita ngobrol diluar. Sekalian buka puasa?”
            “gimana Mas, mau nggak” tanyaku pada Mas Andre yang hanya berdiam diri.
            “boleh-boleh. Nggak Masalah kog”
            Om Kusuma, begitu aku mulai memanggilnya, memilih restoran di dekat Rumah Sakit. Aku tidak terlalu berselera untuk menyantap makanan. Sambil menunggu Om Kusuma memesan makanan, aku sibuk memikirkan kata-kata Mas Andre dirumah Sakit.
            “Dev, dokter Kusuma ganteng ya” bisik Mas Andre
“tapi udah tua”
“mirip deh sama kamu hidungnya. Mancung-mancung lancip gimana gitu”
“ah Mas ngelawak ni” sahutku sembari tertawa
“Dev, gimana kabar Bundamu?” Pertanyaan Om Kusuma menbuyarkan lamunanku.
“baik Om”
“pasti semakin cantik ya seperti kamu”
“Om bisa aja. Emb... Sebenarnya kenapa ya Bunda menyuruh Deva menemui Om”
“Om kangen denganmu. Sejak kalian berdua pindah ke bandung, Om tidak pernah bertemu lagi dengan kalian”
“apakah Om dulu dekat dengan Bunda?” Tanyaku penuh rasa penasaran”
“kami lumayan dekat. Sejak SMP hingga SMA kami bersekolah di tempat yang sama. Bahkan kami sempat tinggal bersama di Jakarta. Arum bekerja dan Om kuliah”
            Baling-baling bambuuu....
            Satu pesan dari Ayah.
Kamu dimana? Ayah dan ibu sudah  nunggu dari tadi. Cepat pulang  ya sayang
            “Om, maaf. Deva udah ditungguin Ayah dirumah”
“oh iya nggak pa-pa”
“kami pulang dulu ya Om” kataku berpamitan
“iya hati-hati. Jangan kebut-kebutan di jalan ya Ndre bawa anak Om” pesan Om Kusuma
“iya Om. Assallamu’alaikum”

“Dev” panggil Om Kusuma
Tiba-tiba langkahku terhenti dan berbalik ke arah Om Kusuma.
            “kalau perlu mobil untuk jalan-jalan selama di Surabaya, kamu bisa kerumah Om. Sudah Om sediain mobil untuk kamu”
“makasih Om. Nanti aja”
            Rasa bingung dan penasaran Masih membekas dalam pikiran. Aku memperhatikan Mas Andre.
            “kenapa Dev”
“kok aku Masih penasaran ya dengan Om Kusuma”
“ntar kamu tanyain aja ke Bunda”
            Aku hanya mengangguk-anggukan kepala. Mataku menatap lurus kedepan, memperhatikan jalanan yang mulai lengang.
            “o iya Dev, bentuk gigimu dan gigi Om Kusuma sama”
“ah Masak sih Mas, detail amat perhatiin Om Kusuma”
“beneran deh. Kalian berdua mirip”
            Tak terasa mobil telah memasuki pekarangan rumah. Unik sekali rumah Ayah sekarang. Sudah direnovasi secara keseluruhan. Sebuah rumah mungil yang dikelilingi pohon-pohon hias. Ayah dan istrinya menyambutku di depan rumah. Mereka terlihat sangat serasi dan bahagia.
            “assalamu’alaikum yah, bu”
“wa’alaikum salam” jawab mereka serempak
“darimana saja kalian, sudah larut malam baru pulang” tanya Ayah
“tadi kami bertemu teman tante Arum” jawab Mas Andre
“tapi kalian udah berbuka kan”
“udah bu. Buka bersama Om Kusuma”
“ini udah larut malam. Kamu cepet istirahat. Pasti capek seharian di jalan” pesan ibu
“Andre nginap saja disini, udah malam banget. Bu tolong siapkan kamar tamu” lanjut Ayah
“makasih Om, tante”
“yah Deva mandi dulu ya. Ngantuk banget” kataku sambil meninggalkan Mas Andre dan Ayah diruang keluarga.
            Kamarku Masih seperti 2 tahun yang lalu. Penuh dengan ornamen-ornamen kupu-kupu dan bintang. Sejak kecil aku sangat menyukai kupu-kupu dan bintang. Hal tersebut berlanjut hingga dewasa. Akhirnya aku terlelap ke alam mimpi.
            Sebuah sms membangunkanku. Ternyata sms dari Bunda yang membangunkanku sahur. Masih cukup awal untuk sahur. Aku pun bergegas untuk shalat tahajut. Kemudian makan sahur.
            Cukup sepi, hanya ada aku, Ayah, dan ibu tiriku. Baru sehari meninggalkan keluarga di bandung, aku sudah kangen Bunda, Ayah, Kak Leon. Walaupun disini ibu memperlakukanku layaknya anak kandung sendiri, tapi ada rasa sepi menyusup di relung hati.
            Pagi harinya setelah membantu ibu membersihkan rumah. Aku menelepon Bunda. Rasa kangen tak terbendung lagi.
            “hallo” terdengar suara Bunda di seberang
“Bunda... Deva kangen banget”
“baru juga 1 hari”
“Bun Deva mau nanyain sesuatu”
“apa ?” Tanya Bunda
“Om Kusuma itu siapa Bun? Dia perhatian sekali dengan Deva.”
“Ayahmu”
“maksud Bunda”
“maaf Dev, Tri Wijaya, orang yang selama ini kamu anggap Ayah kandungmu itu bukanlah Ayahmu yang sebenarnya. Kusuma lah Ayahmu. Ayah biologismu.”
            Bagai petir disiang hari, kabar itu membuatku terkejut sekaligus bingung.
            “Bunda....”
            “maaf Dev, Bunda hanya bisa meminta maaf. Ini semua salah Bunda, sehingga kalian harus terpisah selama 17 tahun. Bunda rasa ini saat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya” terdengar isak tangis Bunda
            Aku tidak dapat berkata-kata. Tangisku pun pecah. Kubiarkan Bunda menjelaskan panjang lebar. Aku ingin mengetahui yang sesungguhnya.
            “Bunda udah bercerai dengan Ayah tri sebulan ketika Bunda tahu Bunda hamil. Feeling seorang ibu mengatakan janin yang Bunda kandung adalah anak Kusuma. Bunda sangat yakin hal itu.”
“kenapa Bunda membiarkan Deva tumbuh tanpa mengetahui Ayah biologis Deva? Kenapa dia tidak mau mengakui Deva, Bun?”
“semua ini salah Bunda. Hanya Bunda. 17 tahun yang lalu Bunda hanyalah seorang janda dari keluarga biasa. Sedangkan dia pemuda terkaya di Surabaya. Bunda takut keluarganya mengira Bunda hanya menginginkan harta. Bunda rasa ini waktu yang tepat, disaat kita telah hidup bahagia dan berkecukupan. Bunda hanya ingin kalian bertemu dan mengenal satu sama lain.” Jelas Bunda dengan isak tangis yang belum berhenti
            “Deva nggak tahu harus ngomong apa lagi”
            “kamu marah dengan Bunda? Marah lah nak. Bunda terima”
            “nggak Bun. Untuk apa Deva marah? Semua telah terjadi. Bukan berarti dengan Deva marah takdir akan berubah. Ini sudah jalan takdir yang digariskan oleh Allah SWT.”
            “terima kasih sayang. Semua yang Bunda takutkan tidak terjadi. Kamu bisa menerimanya. Terima kasih. Assalamualaikum”
            “wa’alaikum salam” jawabku mengakhiri telepon
            Tidak pernah aku sangka jalan hidup yang serumit ini. Aku tidak bisa menyalahkan Bunda. Aku yakin selama ini Bunda telah berusaha memberikan yang terbaik untukku. Takdir ini tidak perlu disesali, tetapi perlu diperbaiki.
            Aku menemui Mas Andre di taman dan menceritakan semuanya. Sama denganku, Mas Andre cukup terkejut dengan kenyataan yang terungkap. Dia hanya menyarankan agar aku tidak mengacaukan semuanya.  Biarlah semua mengalir seperti biasa.
            Dia juga mengatakan sesuatu yang didengarnya kemarin. Ketika Om Kusuma mengangkat sebuah telepon di toilet restoran.
            Bagaimanapun dia tetap matahariku. Dia adalah bukti cinta kita berdua. Terimakasih kamu telah merawatnya hingga secantik ini, Rum.
            Awalnya Mas Andre hanya menganggap itu percakapan biasa. Tetapi kini kami mengerti, matahari yang dimaksudkan adalah aku. Akulah bukti cinta mereka berdua.
            Begitu senja terbenam dan bulan mulai muncul aku pulang kerumah. Ayah dan ibu terkejut melihat mataku yanng sembab. Aku hanya mengatakan ada sedikit Masalah dengan teman. Akuv tidak ingin mereka tahu yang sebenarnya. Biarlah semua seperti apa adanya. Ayah tetap menganggapku sebagai anaknya. Dan ibu tetap menganggapku anak tirinya.
            Setelah berbuka puasa dan shalat maghrib. Aku menelepon Bunda.
            “assalamualaikum Bun”
            “wa’alaikum salam. Ada apa Dev? Kamu baik-baik saja kan.”
            “tidak ada apa-apa Bun. Deva hanya ingin Bunda menceritakan kehidupan Ayah yang sekarang” pintaku
            “seperti yang kamu lihat kemarin, Ayahmu telah sukses menjadi seorang dokter spesialis mata. Dia menikah dengan Tante Risris, sahabat Bunda, dan dikaruniai seorang putra. Mungkin sekarang berusia 14 tahun.”
            “bisakah Deva bertemu dengan mereka?”
            “jangan sayang. Mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tidak ada yang mengetahui hal ini. Hanya kamu, Bunda, Om Kusuma, dan nenek. Malam ini pukul 20.00 pergilah ke Restoran Cherie. Kamu akan bertemu Ayahmu disana.”
            “Bunda udah mengatur ini semua?”
            “tidak. Setiap tahun dimalam takbiran Ayahmu itu selalu menghabiskan malam di restoran Cherie. Mengenang perpisahan kami. Bunda yakin malam ini dia ada disana.”
            Segera aku berganti pakaian dan menelepon taksi. Malam itu jalanan sangat ramai dipenuhi anak-anak yang takbiran. Aku hanya bida berdoa semoga tidak terjebak macet.
Taksi itu menghentikan mesinnya tepat di depan sebuah restoran mewah di tengah kota Surabaya. Di depan restoran terdapat ukiran tilisan dari kayu. Dengan tergesa-gesa aku memasuki restoran. Sambutan ramah para pelayan tidak aku hiraukan.
Tepat ditengah ruangan terlihat sosok yang aku kenal. Sedang menyesap secangkir minuman dan memandangi selkembar foto. Cukup jauh dari tempatku berdiri sekarang. Perlahan-lahan aku mendekatinya. Ternyata itu adalah foto Bunda.
“Ayah” panggilku lirih
Orang yang aku panggil itu menoleh dan melihatku dengan tatapan terkejut.
“Deva, sejak kapan kamu berada disitu. Ayo duduk”
“kebetulan Om sedang sendiri”
Aku pun kemudian duduk di depan Om Kusuma. Kupandangi wajahnya. Ternyata memang benar. Ada kemiripan dengan wajahku, dan susunan giginya sama dengan gigiku.
“Ayah” kataku kembali. Tak terasa air mataku meleleh
“kamu...kamu sudah mengetahuinya?”
Tiba-tiba Om Kusuma berdiri dan memelukku erat. Hening. Sejenak hanya ada isak tangis dari kami. Tidak peduli dengan para pengunjung yang memperhatikan kami.
“anakku..anakku..maafkan Ayah”
“Deva sudah tahu semuanya. Tidak perlu Ayah meminta maaf, karena tidak ada yang perlul dimaafkan. Semua telah terjadi atas izin Allah SWT.”
Malam itu kami habiskan berdua. Jika tahun-tahun sebelumnya Om Kusuma mengenang malam takbiran sebagai malam kenangannya dengan Bunda. Aku akan mengenang malam takbiran sebagai malam terindah dalam hidupku. Untuk pertama kalinya aku dapat bertemu dengan Ayahku yang sesungguhya.
Terima kasih tuhan. Terima kasih atas berkahmu di Ramadhan kali ini. Ramadhan tahun ini menjadi sempurna dengan terungkapnya rahasia terbesar Bunda. Kali ini aku dapat menikmati kesempurnaan ramdhan yang hangat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar