Selasa, 16 Agustus 2011

Kisah Putri Pontianak

            Panas sekali siang ini. Seusai kelas terakhir aku masih harus menghadiri rapat bazar di kampus. Tetapi bayangan wajah kak Andi seketika menghapuskan rasa letihku. Diam-diam aku mengagumi kak Andi. Dia bukanlah seorang pemuda yang tampan dan kaya raya. Dia hanyalah seorang pemuda biasa yang bijaksana. Sifatnya itulah yang mampu menarik hati setiap gadis di kampusku. Kak Andi cukup populer dikalangan para mahasiswa. Karena dia juga seorang aktivis. Kekagumanku pada kak Andi selama ini hanya bisa aku pendam. Aku terlalu takut untuk mengungkapkannya. Selama ini, aku hanya mencari informasi tentangnya, tanpa ada keberanian untuk mendekatinya.
            Hingga akhirnya kesempatan untuk bisa dekat dengan Kak Andi datang. Aku ditunjuk sebagai sekretaris dalam acara bazar di universitasku, dengan kak Andi sebagai ketuanya. 4 bulan kami menyiapkan acara tersebut, selama itu pula intensitas pertemuan kami semakin banyak. Semakin hari kami semakin dekat. Kak Andi mulai memberikan sedikit perhatian-perhatian kecil untukku. Terkadang ia menjemput dan mengantarku sepulang kuliah.
            Pada suatu sore Kak Andi mengajakku mengunjungi salah satu sponsor besar dari kegiatan di kampus. Sepulang dari kunjungan itu, kami makan di salah satu restoran favorit para mahasiswa. Tiba-tiba Kak Andi menyatakan perasaannya. Dia memintaku untuk menjadi pacarnya. Tentu aku sangat senang, karena hal yang selama ini aku inginkan akhirnya terwujud. Aku senang bercampur sedih. Aku yang bergelar syarifah dan masih keturunan keraton tidak akan pernah diizinkan menjalin hubungan dengan pemuda dari kalangan rakyat biasa. Tradisi tersebut sudah turun menurun dianut keluargaku yang masih keturunan kerajaan Pontianak. Tersirat kesedihan dimatanya ketika aku mengatakan hal tersebut. Tapi aku juga nggak tega untuk menolak keinginannya. Aku pun menerima Kak Andi. Sejak saat itu kami menjalin hubungan yang tidak diketahui oleh kedua orang tuaku.

            Tidak terasa hubungan kami telah memasuki tahun ke-3. Banyak suka dan suka yang telah kami lewati bersama. Tetapi itu semua dapat kami selesaikan tanpa ada pertengkaran yang besar. Aku sering berkunjung kerumah Kak Andi  untuk sekedar main ataupun mengerjakan tugas. Orang tua Kak Andi sangat welcome terhadapku. Terlebih lagi ibunya. Aku sangat menyayangi mereka. aku telah menganggapnya sebagai orang tuaku sendiri.
Suatu hari, ketika kami tengah merayakan hari jadi ke-3 di sebuah restoran, Kak Andi tiba-tiba menanyakan tentang kejelasan hubungan kami. Aku yang tidak menyangka akan disodori pertanyaan seperti itu pun terkejut. Aku belum siap dengan pertanyaan Kak Andi. Dia memintaku untuk mengenalkannya dengan orang tuaku. Aku pun menyetujuinya dengan persaan bingung dan takut.
            Hari yang direncanakan tiba. Malam ini aku berencana mengenalkan Kak Andi dengan orang tuaku. Tepat pukul 7 malam motor Kak Andi tiba dihalaman rumahku. Cara berpakaian Kak Andi sedikit berbeda. Ia mengenakan kemeja berwarna biru dan dipadukan dengan celana jins hitam. Cukup rapi jika dibandingkan dengan kesehariannya yang senang melapisi pakaian dengan kaos dan kemeja. Terlihat ketegangan di raut wajahnya. Aku pun tersenyum menyambut kedatangannya.
“assallamu’alaikum”
“wa’alaikum salam,” sahutku sambil mempersilahkan Kak Andi memasuki rumah
Pelan-pelan ia memasuki rumah sambil memperhatikan keadaan rumah yang kelihatan sepi
“umi dan abah lagi pergi,kak,” kataku mengetahui kegelisahannya
Seketika itu juga Kak Andi mengehmbuskan nafas lega. Aku tertawa melihat tingkahnya itu. Setengah jam berlalu, terdengar deru suara mobil memasuki garasi rumah.
            “itu pasti umi dan abah, sebentar ya kak,” tanpa menunggu jawaban Kak Andi, aku langsung menuju halaman menyabut kedatangan kedua orang tuaku.            “motor siapa itu vie?” tanya umi sambil melihat kearah ruang tamu
            “motor teman selvie mi, itu orangnya ada didalam, Selvie mau ngenalinnya dengan umi dan abah” jawabku sambil mengajak umi dan abah masuk kedalam rumah
            Kak Andi langsung berdiri menyambut kedatangan kedua orang tuaku. Diciumnya kedua tangan mereka dengan sopan. Senang rasanya Kak Andi bisa bersikap sopan kepada orang tuaku
            “temannya selvie ya?” tanya umi sambil menduduki kursi
            “iya om” jawab Kak Andi singkat
            “kerja atau kuliah? Dimana?” tanya abah penuh selidik
            “masih kuliah om di UNTAN” sahutnya dengan kikuk
            “oo ya sudah, lanjutin ngobrolnya. Om masuk dulu.” Abah pun beranjak dari kursinya diikuti umi.
            Aku dan Kak Andi langsung tersenyum ketika mengethui respon kedua orang tuaku. Syukurlah mereka tidak mengintrogasi Kak Andi hingga detail. Jam telah menunjukkan pukul 9 malam. Kak Andi pun berpamitan pulang. Sebagai pemuda yang berpendidikan, Kak Andi sangat menjaga etika bertamunya. Aku pun mengantarkan Kak Andi hingga halaman depan. Aku menunggunya hingga ia hilang dari pandanganku.
            Aku pun kembali masuk ke dalam rumah. Terlihat umi dan abah sedang asyik menonton liputan berita di TVRI
            “Selvie, yang tadi itu siapa? Tinggal dimana” tanya umi
            “Kak Andi mi, teman dekat Selvie. Dia tinggal di kompleks UNTAN”
            “apa nama lengkapnya?”
            “Andi Rangga Pratama. Kenapa mi?”
            “bukan keturunan syarif?”
            “bukan, orang tuanya berasal dari Bandung yang memiliki usaha disini”
            “kenapa kamu berani menjalin hubungan dengan orang sembarangan selvie?” abah yang sedari tadi hanya menjadi pendengar pun ikut bicara
            “dia bukan orang sembarangan bah. Asal usul keluarganya jelas dan dia juga bukan orang yang sangat miskin”
            “tapi dia tidak mempunyai keturunan raja seperti kita. Kamu harus ingat siapa dirimu selvie. Kamu adalah seorang keturunan raja. Dan kamu harus mencari pendamping yang bibit, bebet, bobotnya sebanding dengan kita. Mulai sekarang putuskan hubunganmu dengan Andi itu.” Terang abah dengan marah
            Aku yang tidak dapat menahan air mata langsung berlari menuju kamar tidur. Dengan wajah menelungkup di atas bantal aku menangis sesegukan. Apa yang aku takutkan akhirnya terjadi. Abah dengan keras menentang hubunganku dengan Kak Andi. Aku hanya bisa menangis dan menangis hingga terlelap ke alam mimpi.
            Keesokan harinya aku bangun dengan mata bengkak. Teringat kejadian semalam, aku pun menitikkan air mata lagi. Kenapa tuhan mempertemukanku dengannya jika akhirnya aku harus berpisah dengan Kak Andi. Sayup-sayup terdengar
            “pagi.” Ucapku dengan murung
            “pagi sayang.” Jawab umi sambil mengecup keningku
Kelihatannya abah masih marah mengenai kejadian tadi malam. Dan aku tidak ingin membicarakan hal tersebut. Kami makan dalam keheningan. Perutku seakan penuh tak ingin terisi lagi. Aku pun segera berpamitan untuk kuliah.
            “selvie pergi dulu, assalamu’alaikum” kataku sambil beranjak dari meja makan
            “selvie” panggil abah
            Langkahku pun terhenti. Tanpa sempat menoleh ke arah abah. Beliau berkata “putuskan hubungan kalian”
            Tanpa menjawab perkataan abah, aku langsung bergegas pergi. Sayup-sayup terdengar suara umi meneriakkan kata “hati-hati”
            Sepanjang perjalanan ke kampus pikiranku dipenuhi tentang Kak Andi dan keluargaku. Bagaimana aku harus menjelaskan kepada Kak Andi. Aku belum rela jika harus berpisah dengannya. Hubungan yang telah terjalin selama 3 tahun telah menorehkan berbagai kenangan.
            Sesampainya dikampus, aku langsung masuk kekelas. Biasanya aku akan bertemu Kak Andi sebelum masuk ke kelas. Tapi untuk hari ini, aku tidak ingin bertemu Kak Andi. Bahkan telpon sms-sms Kak Andi pun tidak aku hiraukan sedikitpun. Aku terlalu bingung menjelaskan semua ini.
            Hari ini aku hanya ada 1 mata kuliah. Seusai kelas pun aku langsung pulang kerumah. Ditengah perjalanan ada sms masuk. Ternyata sms Kak Andi.
            Selvie, kamu dimana
            Tak aku gubris sms tersebut, bahkan handphone-ku sengaja aku non-aktifkan. Ada sedikit rasa penyesalan kurasakan, tapi aku belum siap bertemu dengan Kak Andi. Setibanya dirumah, aku langsung menemui umi di kamarnya. Hanya umi yang selama ini aku percaya untuk mendengarkan keluh kesahku.
            “assalamu’alaikum umi,”
            “wa’alaikum salam, ada apa?” jawab umi sembari meletakkan koran yang dibacanya.
            “lagi baca apa mi?” tanyaku memulai percakapan
            “ini ada pembunuhan di sebrang sana. Kamu kalau lagi pergi hati-hati. Jangan gampang percaya dengan orang. Apalagi kamu kan perempuan. Umi takut ada apa-apa” kata umi sambil mengusap-usap kepalaku
            “iya mi, insya allah selvie bisa kog jaga diri” katakku sembari menyandarkan kepala dibahu umi
            “vie, kata abahmu itu benar. Kamu tidak boleh menjalin hubungan dengan Andi.”
            “kenapa mi. Kak Andi orang yang baik”
            “umi tahu dia baik, anak umi tidak mungkin bergaul dengan sembarang orang. Tapi dia dari kalangan biasa”
            “apa perbedaannya dengan kita? Kita juga orang biasa” kataku mencoba membela Kak Andi
            “tapi kita masih keturunan keraton. Kita punya tanggung jawab besar untuk terus melestarikan keturunan kita. Apalagi kamu adalah anak umi dan abah satu-satunya. Siapa lagi yang akan meneruskan keturunan kita kalau bukan kamu?” terang umi panjang lebar
            “tapi Kak Ahmad bisa terus menjalin hubungan dengan Deara” kataku mencoba membela diri
            “dia kan laki-laki. Otomatis keturunan mereka tetap dapat melanjutkan keturunannya.”
            “tapi mi, bagaimana selvie harus menjelaskan kepada Kak Andi”
            “sebaiknya kamu menceritakan secara terus terang dengan Andi”
            “iya mi. Makasih ya sarannya. Selvie mau gerjain tugas dulu”
Sedikit lega setelah bercerita dengan umi. Aku pun melanjutkan tugas kuliahku dikamar.
            Keesokan harinya aku bangun tidur dengan perasaan yang lebih baik dari kemarin. Aku sudah memiliki keputusan untuk dikatakan dengan Kak Andi.
            “pagi bah, pagi mi” sapaku
            “pagi sayang. Ceria sekali kamu pagi ini” sahut umi yang sedang menyediakan sarapan untuk abah
            “bagaimana Andi?” tanya abah langsung
            “sudah la bah. Biarkan Selvie sarapan dulu” tegur umi
            “tidak apa-apa mi. Umi, abah Selvie pergi dulu ya. Sarapan di kantin saja. Masih ada tugas yang belum selvie selesaikan.”
            “hati-hati dijalan” sahut umi
            Sepanjang perjalanan ke kampus, pikiranku dipenuhi oleh keputusan yang akan aku katakan kepada Kak Andi. Bagaimana reaksinya nanti? Apakah dia akan marah? Pikiran-pikiran seperti itu terus berkecamuk dalam otakku.
            Sesampainya dikampus, aku yang belum siap untuk menemui Kak Andi pun langsung bergegas masuk menuju kelas pertama. Aku berencana memberitahu keputusan yang aku ambil selepas kelas pertama.
            Pelajaran pun usai. Perasaanku semakin tak karuan. Aku dikejutkan oleh
kehadiran Kak Andi di depan kelasku. Walaupun aku sudah berencana menemuinya, tapi kedatangan Kak Andi yang tiba-tiba cukup mengejutkanku.
            “kakak”
            “kemana saja kamu belakangan ini”
            “tidak kemana-mana kak. Selvie baru saja akan menemui kakak. Tapi kakak sudah ada disini”
            “ke kantin yuk kak” ajakku
            “oke. Ada yang ingin kakak bicarakan”
            “Selvie juga mau bicara dengan kakak”
Kami pun mencari tempat duduk yang nyaman untuk mengobrol. Kak Andi memilih tempat dipojok ruangan yang lumayan terhindar dari tatapan mata mahasiswa lainnya.
            “maaf Kak”
            “maaf untuk apa?”
            “selvie menghindari kakak belakangan ini”
            “tidak masalah. Kakak bisa mengerti. Apa yang ingin kamu bicarakan?’’
            “abah tidak menyetujui hubungan kita”
            “sudah aku duga, pasti ini yang membuatmu mulai menjauhiku”
            “bagaimana menurut kakak dengan hubungan kita?”
            “terserah kamu dan keluargamu. Kakak tidak bisa memaksakan kehendak kakak sendiri” jelas Kak Andi bijak
            “hubungan kita sudah terjalin lumayan lama. Mungkinkah kita bisa melepaskan satu sama lain?” tanyaku
            “tuhan mempunyai jalan yang terbaik untuk kita vie. Walaupun kita telah menjalin hubungan belasan tahun, jika tuhan tidak menghendaki maka kita pun tidak mungkin akan bersama. Mungkin tuhan memberikan kita pasangan yang salah sebelum dia memberikan pasangan yang sebenarnya untuk kita”
            “Selvie menyayangi umi dan abah, kak. Selvie tidak ingin mengecewakan mereka. tapi Selvie juga tidak ingin mengecewakan kakak”
            “kakak tidak kecewa, menurut kakak orang tua adalah prioritas utama dalam hidup. Kita masih bisa berteman baik, dan mungkin kakak bisa lebih leluasa berkunjung kerumahmu”
            “syukurlah kakak tidak marah. Selvie takut kakak tidak dapat menerima keputusan Selvie”
            “tidak mungkin kakak marah” jawab kakak sambil tersenyum
            “sudah siang kak, Selvi harus mengantar umi kerumah sakit”
            “siapa yang sakit?” tanya Kak Andi dengan wajah khawatir
            “sudah seminggu nenek berada di ruang ICU”
            “oh... semoga nenek cepat sembuh. Kalau ada waktu kakak akan mengunjungi nenek. Hati-hati”
            Aku segera beranjak pergi meninggalkan Kak Andi yang masih berada di kantin kampus. Senang rasanya satu masalah telah terselesaikan. Aku pun pulang kerumah dengan perasaan yang bahagia.
            Sesampainya dirumah aku segera menceritakan keputusan yang aku ambil kepada umi dan abah. Mereka berdua merasa senang dengan keputusanku. Dan mereka juga mengijinkan Kak Andi berkunjung kerumah sesering mungkin.
            Memang benar kata orang. Hanya keluargalah dunia kita yang paling nyaman dan aman. Bagaimanapun, keluarga adalah anugrah terindah yang pernah kita miliki, terutama kedua orang tua. Tidak akan pernah ada yang bisa menggantikan mereka berdua di dunia ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar