Sabtu, 31 Desember 2011

Keping Hati


                “Kriiing....Kriiiing.....”
            “ Pulang yuk. Capek banget nih “ ajakku pada Iren
            “ Yuk “ jawab Iren
Seperti biasa, kami pulang bertiga bersama Tata. Aku dan Iren berada dikelas IXB sedangkan Tata dikelas IXA. Jarak rumah yang dekat dan seringnya berkumpul bersama membuat kami bersahabat. Banyak yang mengatakan aku dan Iren memiliki kemiripan wajah. Terkadang banyak orang yang mengatakan kami bersaudara bahkan ada yang mengatakan kami kembar.
            Siang itu, kami menunggu angkutan umum dengan susah payah. Maklum, jam pulang sekolah. Banyak angkutan yang penuh sesak dengan siswa-siswi sekolah menengah pertama. setelah sekian lama menunggu, akhirnya kami pun mendapatkan angkot.
            Mataku tertuju pada sesosok pria yang duduk ditengah. Sejenak aku terpana mengagumi aura yang terpancar. Tidak terlalu “wah” tapi cukup menarik.
            “ Dhe cepat “ teriak Tata dibelakangku.
Akupun tersadar. Dengan ekspresi salting dan canggung aku duduk di bangku penumpang. Tak lama kami bertiga ribut dengan cerita masing-masing. Tata yang cerewet menceritakan berbagai hal yang penting maupun nggak penting. Sebagai pendengar setia aku dan Iren mendengarkan dengan seksama. Terkadang menanggapi dan kemudian tertawa. Sekilas cowok itu seperti melihat kami, entah terganggu atau tertarik.
“ Kiri bang “
Aku menoleh ke asal suara itu. Oh cowok itu berhenti disini. Aku melihatnya sampai ia hilang dari pandangan.
“ EHEM..  ada yang curi-curi pandang nih “ Tata bersuara
“ Hahahaha.... apa’an sih “ ternyata Tata melihatnya
“ Cowok tadi manis. Sekolah dimana ya “
“Itu baju khas sekolah Harapan. Mungkin dia sekolah disana “ Iren menjelaskan
Tak lama Tata dan Iren telah sibuk dengan cerita mereka.
***
Keesokan harinya kami kembali bertemu dengan cowok itu. Awalnya aku berpikir mungkin kami kebetulan selalu pulang di jam yang sama. Tetapi selama berminggu-minggu kami sering kebetulan berada di angkutan yang sama.
Akupun mulai tertarik dengannya. Dari Tata aku mendapatkan berbagai informasi.
“ Cowok itu siapa ya “ tanyaku ketika ia turun dari angkot
“ Yang itu ? tetangga nenek Ta, Dhe. Rumahnya disebelah rumah nenek”
“ Hah.. Yang bener. Siapa namanya ?
“ Andre. Sekolah di Harapan kelas 3 “
“ oh “ jawabku sambil menganggukkan kepala
Aku sering bercerita tentang Andre dan kekagumanku. Tata dan Iren selalu mendengarkan keluh kesahku. Hingga suatu hari ketika kami ingin menaiki sebuah angkot yang juga ditumpangi Andre, ternyata angkot itu penuh. Sekilas aku melihatnya tersenyum.
“ Ta, ade Andre. Iiii aku mau naik angkot itu. Tadi dia senyum“ rengekku dengan manja
“ Penuh Dhe. Gimana mau naik? Eh Ren, kamu masih dengan Andre? “
Seketika aku langsung menoleh ke Iren
“ Udah putus kok “ Jawab Iren singkat
“ Andre mana Ta “
“Andre yang itu lah “
Teman.. Pernah ngerasa dibohongi sahabat sendiri? Pernah ngerasa dikhianati? Itulah yang aku rasakan. Aku marah. Aku kecewa. Sahabat yang selalu jadi tempat curhatku tentang dia ternyata menikamku dari belakang.
Sempat beberapa hari aku marah pada Iren. Kenapa dia tega bohong denganku? Kenapa dia nggak jujur dengan perasaannya? Bahkan aku mengetahui semuanya ketika mereka telah putus.
Hari itu pertemuan terakhirku dengan andre. Kami tidak pernah bertemu dalam angkot lagi. Mungkin ini lebih baik. Setiap aku ingat andre aku selalu sakit hati.
Ujian Nasional telah usai. Kami bertiga lulus dengan nilai yang amat memuaskan. Aku melanjutkan sekolah di sebuah SMA negeri yang berada di dekat rumah andre. Tata melanjutkan sekolah di sebuah SMA favorit yang cukup jauh. Sedangkan Iren melanjutkan sekolah di sebuah SMK negeri.
***
From : 08XX5417370X
Assalamualaikum
ni dhera ya ??

To        : 08XX5417370X
Iya.. Maaf siapa ??

From   : 08XX5417370X
            Andre

Andre? Siapa? Kayaknya ndak ada deh temenku yang namanya andre.

From   : 08XX5417370X
Andre yang tinggal di Surya Pelita

To        : 08XX5417370X
            oo.. Andre itu. Iya ada apa

From   : 08XX5417370X
Nggak ada apa-apa kok. Cuma mau lebih dekat dengan Dhera

Lebih dekat? Apa nggak salah. Setelah dia mempermainkan perasaan aku. Sekarang dengan yakin dia ingin lebih dekat denganku.
Berbagai perasaan berkecamuk. Senang karena andre akhirnya ngehubungin aku. Tapi juga ada rasa kecewa. Kenapa baru sekarang dia mau mencoba dekat.
***
Semakin lama kami semakin dekat. Aku memanggilnya mas dan dia manggil aku dede’. Andre menceritakan semuanya. Tentang hubungannya bahkan tentang keluarganya.
Walaupun aku tahu hubungan andre dan Iren telah berakhir. Tapi rasa sakit itu tetap ada. Sakit dibohongi dan dikhianati. Itulah mengapa beberapa kali aku menolaknya.

From   : 08XX5417370X
            Dek. Masih sayang dengan mas?

Aku benci pertanyaan ini. aku sayang kamu mas. Ucapku dalam hati

To        : 08XX5417370X
            Ndak mas.

Lain di mulut lain pula dihati. Munafik sekali aku. Beberapa kali andre mencoba datang kerumahku dan selalu aku tolak dengan alasan aku sibuk. Nyatanya, aku belum siap ketemu dia.
***
Tanpa terasa 3 tahun kenal dengan andre, perasaan itu masih ada dan nyata. Apalagi setelah aku tahu adiknya, Winda, masuk ke SMA yang sama dan menjadi juniorku di salah satu ekskul.
            Terkadang Winda bercerita, andre sering mengajak kerumahku. Andre sering cerita tentang aku.
            “Win, mas Andre masih di Ketapang?” tanyaku ketika ada sebuah acara menginap di sekolah
            “Masih kak. Dia kerja disana. Kemarin seminggu dia disana terus ke Mandor.”
            Kutanggapi dengan senyum sekilas. Pertanda aku berterimakasih
            “Dia sering ngajak Winda kerumah kakak. Nolah nggak kak?” tanya Winda
            “ bolehlah. Kerumah aja kapan-kapan” aku pun pergi meninggalkan ruangan menuju keruang panitia
            Keesokan harinya Andre mengirimiku pesan singkat yang memberitahu bahwa ia sudah pulang. Rasa letih akibat acara semalaman ditambah kantuk berat membuatku tak terlalu menghiraukannya.
              From   : Andre
            Dek, semalam nanyain mas ke winda ya?

            To        : Andre
            Iya mas

            From   : Andre
Tadi pagi mas pulang. Tapi sekarang udah mau pergi lagi. Mas pamit ya mau kerja ku hulu
           
            To        : Andre
            Iya mas. Hati-hati

            From   : Andre
 Dek, mas mau nanya sebenarnya perasaan adek ke mas gimana. Masih ada rasa sayang ndak. Mas pengen tahu

            To        : Andre
            Ndak ada lagi

Beberapa saat kutunggu balasan dari andre. Aku pun terlelap. Sejak itu andre nggak pernah sms aku. Aku hanya berpikir mungkin ia marah atau kecewa. Entahlah. Aku terlalu gengsi untuk mengiriminya pesan labih dulu. Bagaimanapun, rasa marah dan kecewa 3 tahun yang lalu itu masih ada. 
***
Sabtu, 03 Desember 2011 23:04
            Ddrrrrtt...dddrrrrtttt
            “Siapa sih sms tengah malam” rutukku dalam hati
                From   : Herman
            Innalillahi wainnalilahirojiun..
            Selamat jalan sahabat semoga amal ibadahmu diterima oleh ALLAH.
Amin
            Alm (M.ANDRE)

            To        : Herman
            Andre mane man

            From   : Herman
            Andre temen SD-ku yang tinggal di Dadap Ayu

            To        : Herman
            Oh kirain aku andre mas aku yang tinggal di Surya Pelita

            From   : Herman
Ya memang Andre yang itu

            To        : Herman
 Hah... beneran? Kok bisa?nggfak mungkin. 3 minggu yang lalu dia pamit mau kerja di Mandor.

Secepat kilat aku mencari nama “Andre” di kontak handphone.

                To        : Andre
            Mas. Mas dimana? Mas nggak papa kan?

Kucoba menelpon, ternyata nomornya mati. Rasa takut, khawatir, bingung langsung menyerangku.

            From   : Herman
Dia kecelakaan di mempawah dengan sepupunya. Dia meninggal, nggak tahu gimana kabar sepupunya. sekarang aku masih dirumahnya. Kalau mau ngelayat besok pagi aja dengan aku.

            Seolah masih tak percaya, herman kucercar dengan berbagai pertanyaan. Hingga aku yakin itulah andre yang kukenal.
            Kucoba memejamkan mata. Melupakan sejenak apa yang telah terjadi. Aku hanya berharap, esok ketika aku datang kerumahnya, bukan ia yang terbujur kaku.
***
            Pukul setengah tujuh pagi tata menelpon dan mengabarkan hal serupa. Andre meninggal. Saat itu aku benar-benar yakin andre-ku telah tiada. Sedih sekali. Hingga airmata tak mempu turun.
            Aku, tata dan Iren melayat kerumahnya. Aku disambut Winda dengan senyum manis . Kubalas dengan senyuman dan anggukan kepala. Mata dan pikiranku tertuju pada sosok yang tengah terbaring diselimuti kain batik.
            Terlihat ibu andre menangis dan dihibur oleh keluarga yang ada. Aku duduk tak jauh dari beliau. Terdengar beliau menceritakan kebiasaan-kebiasaan almarhum semasa hidupnya beserta kebaikan-kebaikan yang dimiliki.
            Tak terasa air mata pun meleleh. Iren dan tata yang melihatnya pun mencoba menghiburku. Berbagai penyesalan merasuki pikiran.
***
            Perlu waktu lama untuk mengembalikan perasaan seperti semula. Ketakutan dan penyesalan datang setiap hari.
            Andai aku tidak terlalu munafik;
            Andai aku jujur dengan perasaanku;
            Andai aku mengijinkannya kerumah;
Andai aku menerima ajakannya pergi;
Andai aku  mau menyisihkan sedikit waktuku;
Mungkin aku bisa membuatnya bahagia untuk yang terakhir kalinya.
Berbagai kata “andai” terus berkeliaran di pikiranku. Hanya penyesalan yang kini dapat kurasakan.
Penantian 3 tahun berakhir dengan takdir. Mulai sekarang nggak akan ada lagi yang sms aku ngajak ketemu, minta maaf. Mungkin ini yang terbaik dari tuhan.
Hari-hari setelah kepergiannya kulalui dengan tangis. Terkadang aku mengirim pesan ke nomornya yang masih aku simpan. Tak jarang pula aku sengaja lewat depan rumahnya. Tentu Andre nggak akan pernah balas pesanku dan juga nggak akan pernah muncul di depan rumahnya.
Memerlukan waktu 2 minggu untuk dapat melupakan sosoknya dan penyesalan tentangnya. Kini aku hanya bisa mencoba ikhlas dan merelakannya pergi untuk selama-lamanya. Hanya do’a yang bisa aku berikan. Selamat jalan mas. Moga engkau tenang disana. Hadirlah disetiap mimpiku ketika kurindu akan dirimu.
masih ku ingat semua semangatmu
masih ku ingat jelas raut wajahmu
tpi kini kau tlah pergi jauh
meninggalkanku di sini ..sepi
racun yg tlah mengalir di darahmu
membutakan semua harap dan anganmu
hingga akhirnya kau menutup mata
meninggalakanku di sini …sepi
tinggalkan aku untuk selamanya
apakah kau masih mengingatku
walau kita di tempat berbeda
akankah kau ada di sampingku
di saat ku rindukan hadirmu

keyla – tempat berbeda

Kamis, 03 November 2011

SAVE ME, GUYS !!



Lihat aku donk. Lihat kan aku lucu banget. Imut-imut gitu. Sayangnya aku sudah mulai punah. Nangis nih aku :’( ..
Sejak abad ke-20, aku banyak diburu oleh makhluk-makhluk aneh yang bernama manusia. Jahat banget kan manusia itu.
Sifatku yang baik dan mukaku yang lucu menjadi daya tarik manusia untuk memilikiku. Aku banyak diburu untuk dijadikan hewan peliharaan.
Ada yang pernah ngadain survei di tahun 2003, yaitu TRAFFIC, mereka menghitung sudah ada 30 orang utan yang disita di 5 pusat satwa liar di jawa.
Kalau hal ini dibiarkan, keluargaku makin lama makin habis. Kasihan kalian juga kan kalau nggak bisa ngelihat tampang kami yang cute abis.
Walaupun kalian nggak memiliki kami, tapi kalian tetap bisa melihat dan menikmati pesona kami di llingkungan sekitar.
Jadi,..... LESTARIKAN kami, LINDUNGI kami. HELP MEEEEEE GUUYYYYSSSSS.......

Sabtu, 10 September 2011

Kesempurnaan Ramadhan

“Kak Leon ma Ayah belum pulang ya Bun”
“mungkin sebentar lagi”
            Kak Leon bukan saudara kandungku. Dia adalah kakak tiriku. Tidak seperti di dongeng Bawang Merah dan Bawang Putih, aku dan Kak Leon sangat akrab. Perbedaan usia kami yang hanya 2 tahun, membuat kami semakin dekat. Tak jarang kami sering bertukar cerita tentang Masalah dan kehidupan kami. Kak Leon selalu memperlakukanku seperti adik kandungnya.
            Tok..tok..tok...
“assallamualaikum” terdengar salam dari arah pintu
“wa’alaikum salam” teriakku sembari membukakan pintu
“kakak pulangnya kok sore banget sih. Mana bau apek lagi” protesku
“enak aja. Wangi gini dibilang apek. Kamu tu yang apek bau kasur” kata Kak Leon mengacak-acak rambutku
“udah-udah ribut terus”
“permaisuri kita ini Bun. Orang wangi kayak gini kok dikatain apek” sanggah Kak Leon sambil mencium tangan Bunda
            Alahu akbar alahu akbar... Azan maghrib pun berkumandang. Seperti biasa, aku dan Kak Leon selalu berebutan mengambil makanan berbuka.
Walaupun telah dewasa, Kak Leon seorang mahasiswa semester 1 di perguruan tinggi  dan aku seorang siswi kelas 2 di sebuah sekolah menengah atas, tingkah kami dirumah Masih seperti anak kecil. Hal ini yang sering aku rindukan jika kakak tidak ada dirumah.
            “Deva, Leon ingat umur. Kalian sudah dewasa, nggak pantas bertingkah seperti itu lagi. Ayo cepat shalat maghrib. Setelah itu kita makan malam” tegur Ayah
            Seperti halnya kakakku, laki-laki itu juga bukan keluarga kandungku. Dia Ayah tiriku. Bunda telah berpisah dengan Ayah kandungku sejak aku berusia 3 tahun. Ayah tiriku sangat baik dan tidak pernah membeda-bedakan aku dengan Kak Leon. Seluruh fasilitas yang kami miliki sama.
Ketika usiaku menginjak 5 tahun, Bunda menikah dengan seorang pengusaha sukses di Bandung. Dan disinilah sekarang kami berada, disebuah rumah mewah yang berada di kota Bandung. Aku dan Bunda harus meninggalkan nenek dan kakek yang berada di Surabaya untuk mengikuti usaha Ayah yang berpusat di kota bandung.
“terawih yuk kak” ajakku
“Ayah-Bunda kemana?”
“Bunda kan tadi nggak puasa, Ayah katanya lagi banyak kerjaan. Ayo dong kak.”
“iya, tunggu dibawah. Kakak ganti baju dulu”
Seusai shalat terawih, aku bergabung dengan Bunda di ruang keluarga. Seperti biasa, Bunda nggak pernah melewatkan sinetron kesayangannya.
“sinetron lagi Bun. Ceritanya gitu-gitu mulu nggak ada habisnya”
“daripada Bunda nonton kamu dengan Leon ribut, mendingan Bunda nonton sinetron. Artisnya ganteng-ganteng”
“ah Bunda. Deva juga nggak kalah cantik dengan artis siapa tu pemeran sinetron Kesempurnaan Ramadhan yang namanya Selvie”
“iya deh, anak Bunda memang paling cantik”
“tapi bohooong..”
Tiba-tiba Kak Leon mengejutkanku. Dengan segera dia duduk disampingku dan mencubit pipi tembemku pelan.
“apa’an sih kak, datang-datang langsung nyubit pipiku” ujarku mengusap-usap pipiku.
“makanya, punya pipi jangan kayak bakpau”
“Ayah, pipiku kayak bakpau ya? Nggak kan!”
“nggak kok, siapa yang ngatain pipi anak kesayangan Ayah kayak bakpau?”
“kakak yah”
Suasana keluargaku selalu ceria, jarang ada keributan yang berarti. Keluarga ini seperti anugrah. Ayah, Bunda, dan Kak Leon. Mereka adalah milikku yang berharga
***
“hati-hati disana sayang” kata Bunda sambil mengusap kepalaku
“oke  Bun”
“jaga diri, jangan jalan-jalan terus” pesan Ayah
“jangan lupa bawain oleh-oleh cewek cantik untuk kakak”
“yeee... Cewek itu yang nggak bakalan mau dengan kakak”
Seusai berpamitan, aku pun segera check in dan memasuki boarding room. Tepat pukul 11.00 WIB nanti aku akan terbang ke Surabaya menggunakan Lion Air. Cukup ramai suasana bandara pagi ini. Mungkin banyak pemudik yang akan pulang ke kapung halamannya.
Seperti halnya aku. Hampir 2 tahun aku tidak mengunjungi Ayah kandungku di Surabaya. Selain ingin bersilahturahmi, aku juga ingin melihat adik kembarku. Kabarnya istri Ayah telah melahirkan 2 orang bayi kembar ynag lucu.
Tak terasa aku telah tiba di bandara Surabaya. Sykurlah aku hanya membawa 1 koper kecil. Sehingga aku tidak perlu berdesak-desakkan menunggu antrian barang yang ditaruh dibagasi. Segera aku menuju pintu keluar dan mencari-cari Mas Andre. Kata Ayah kandungku, Mas Andre yang akan menjemputku di bandara.
Dari kejauhan samar-samar aku mendengar seseorang memanggilku. Saat aku menoleh ke kanan, ternyata Mas Andre yang memanggil. Cowok jangkung itu pun menghampiriku dan mengambil koper yang aku bawa. Tanpa berlama-lama di bandara kami segera menuju rumah Ayah.
“makasih Mas” kataku ketika Mas Andre membukakan pintu mobilnya. Mas Andre hanya memlasa dengan senyum manisnya.
Perjalanan kami tempuh dalam diam, sibuk dengan pikiran Masing-Masing. Hingga akhirnya Mas Andre memulai pembicaraan.
“kamu cantik
“ha..? Emb makasih Mas. Mas juga kelihatan semakin dewasa” kataku balas memuji
“gimana kabar Ayah, Bunda, dan Kak Leon di bandung ?”
“alhamdulilah baik. Kak Leon sering ngomongin Mas”
“ah yang bener?” Tanya Mas Andre tak percaya
“iya. Katanya Mas beli mobil baru, Mas Masuk universitas negeri, Mas liburan, Mas lagi ini, Mas lagi itu. Tiap hari nggak pernah terlewatkan tanpa cerita tentang Mas” ceritaku penuh semangat
“kamu nggak berubah ya. Tetap cerewet seperti terakhir kali kita ketemu”
“ah Mas Andre”
Baling-balling  bambu...
Terdengar suara Doraemon dari ponselku. Ada satu pesan dari Bunda.
Sayang, sudah sampai ya. Jangan lupa menemui teman Bunda dirumah Sakit Batista. Dr. Kusuma.
Dengan cepat aku mengirimkan pesan balasan
Iya Bun. Nanti Deva kesana denganmas Andre.
“Mas, Rumah Sakit Batista dimana?”
“didekat sini kok. Kami sakit?” Tanya Mas Andre khawatir
“oh nggak Mas. Bunda pesan, disuruh nemuin teman Bunda di Rumah Sakit itu”
“kamu mau Mas antar kesana?”
“iya. Sekarang aja ya kita kesana” pintaku
Ternyata Rumah Sakit Batista tiodak jauh dari bandara. Hanya menempuh waktu 25 menit. Sesampainya di rumahh sakit, Mas Andre memarkirkan mobilnya di tempat parkir terdekat. Kami pun menuju ke
Kami pun bergegas Masuk. Semerbak bau khas Rumah Sakit menerpa hidungku. Sejenak aku terkagum dengan interior bangunan ini. Sungguh luar biasa, sangat megah dan elegan. Tidak seperti Rumah Sakit pada umumnya.
            Ruang dr. Kusuma terletak di lantai 4. Aku penasaran dan bertanya-tanya, siapakah dokter itu? Apa hubungan  beliau dengan Bunda? Kenapa Bunda menyuruhku bertemu dengannya? Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku.
            Akhirnya pintu dengan tulisan DR. KUSUMA HERIAN berada didepanku. Seorang dokter berusia 40-an berada di belakang  meja kerjanya. Sinar-sinar ketampanan Masih tergambar jelas dari raut wajah sang dokter.
            “siang dok”
“siang. Silahkan duduk. Ada yang bisa saya bantu?”
“saya putri Bu Arum. Tadi Bunda menyuruh saya menemui dokter”
“Arum.... Arum Wardani?” Dokter itu tampak berpikir keras
“iya dok. Itu Bunda saya. Ada apa ya dok”
“oh tidak apa-apa. Bagaimana kalau kita ngobrol diluar. Sekalian buka puasa?”
            “gimana Mas, mau nggak” tanyaku pada Mas Andre yang hanya berdiam diri.
            “boleh-boleh. Nggak Masalah kog”
            Om Kusuma, begitu aku mulai memanggilnya, memilih restoran di dekat Rumah Sakit. Aku tidak terlalu berselera untuk menyantap makanan. Sambil menunggu Om Kusuma memesan makanan, aku sibuk memikirkan kata-kata Mas Andre dirumah Sakit.
            “Dev, dokter Kusuma ganteng ya” bisik Mas Andre
“tapi udah tua”
“mirip deh sama kamu hidungnya. Mancung-mancung lancip gimana gitu”
“ah Mas ngelawak ni” sahutku sembari tertawa
“Dev, gimana kabar Bundamu?” Pertanyaan Om Kusuma menbuyarkan lamunanku.
“baik Om”
“pasti semakin cantik ya seperti kamu”
“Om bisa aja. Emb... Sebenarnya kenapa ya Bunda menyuruh Deva menemui Om”
“Om kangen denganmu. Sejak kalian berdua pindah ke bandung, Om tidak pernah bertemu lagi dengan kalian”
“apakah Om dulu dekat dengan Bunda?” Tanyaku penuh rasa penasaran”
“kami lumayan dekat. Sejak SMP hingga SMA kami bersekolah di tempat yang sama. Bahkan kami sempat tinggal bersama di Jakarta. Arum bekerja dan Om kuliah”
            Baling-baling bambuuu....
            Satu pesan dari Ayah.
Kamu dimana? Ayah dan ibu sudah  nunggu dari tadi. Cepat pulang  ya sayang
            “Om, maaf. Deva udah ditungguin Ayah dirumah”
“oh iya nggak pa-pa”
“kami pulang dulu ya Om” kataku berpamitan
“iya hati-hati. Jangan kebut-kebutan di jalan ya Ndre bawa anak Om” pesan Om Kusuma
“iya Om. Assallamu’alaikum”

“Dev” panggil Om Kusuma
Tiba-tiba langkahku terhenti dan berbalik ke arah Om Kusuma.
            “kalau perlu mobil untuk jalan-jalan selama di Surabaya, kamu bisa kerumah Om. Sudah Om sediain mobil untuk kamu”
“makasih Om. Nanti aja”
            Rasa bingung dan penasaran Masih membekas dalam pikiran. Aku memperhatikan Mas Andre.
            “kenapa Dev”
“kok aku Masih penasaran ya dengan Om Kusuma”
“ntar kamu tanyain aja ke Bunda”
            Aku hanya mengangguk-anggukan kepala. Mataku menatap lurus kedepan, memperhatikan jalanan yang mulai lengang.
            “o iya Dev, bentuk gigimu dan gigi Om Kusuma sama”
“ah Masak sih Mas, detail amat perhatiin Om Kusuma”
“beneran deh. Kalian berdua mirip”
            Tak terasa mobil telah memasuki pekarangan rumah. Unik sekali rumah Ayah sekarang. Sudah direnovasi secara keseluruhan. Sebuah rumah mungil yang dikelilingi pohon-pohon hias. Ayah dan istrinya menyambutku di depan rumah. Mereka terlihat sangat serasi dan bahagia.
            “assalamu’alaikum yah, bu”
“wa’alaikum salam” jawab mereka serempak
“darimana saja kalian, sudah larut malam baru pulang” tanya Ayah
“tadi kami bertemu teman tante Arum” jawab Mas Andre
“tapi kalian udah berbuka kan”
“udah bu. Buka bersama Om Kusuma”
“ini udah larut malam. Kamu cepet istirahat. Pasti capek seharian di jalan” pesan ibu
“Andre nginap saja disini, udah malam banget. Bu tolong siapkan kamar tamu” lanjut Ayah
“makasih Om, tante”
“yah Deva mandi dulu ya. Ngantuk banget” kataku sambil meninggalkan Mas Andre dan Ayah diruang keluarga.
            Kamarku Masih seperti 2 tahun yang lalu. Penuh dengan ornamen-ornamen kupu-kupu dan bintang. Sejak kecil aku sangat menyukai kupu-kupu dan bintang. Hal tersebut berlanjut hingga dewasa. Akhirnya aku terlelap ke alam mimpi.
            Sebuah sms membangunkanku. Ternyata sms dari Bunda yang membangunkanku sahur. Masih cukup awal untuk sahur. Aku pun bergegas untuk shalat tahajut. Kemudian makan sahur.
            Cukup sepi, hanya ada aku, Ayah, dan ibu tiriku. Baru sehari meninggalkan keluarga di bandung, aku sudah kangen Bunda, Ayah, Kak Leon. Walaupun disini ibu memperlakukanku layaknya anak kandung sendiri, tapi ada rasa sepi menyusup di relung hati.
            Pagi harinya setelah membantu ibu membersihkan rumah. Aku menelepon Bunda. Rasa kangen tak terbendung lagi.
            “hallo” terdengar suara Bunda di seberang
“Bunda... Deva kangen banget”
“baru juga 1 hari”
“Bun Deva mau nanyain sesuatu”
“apa ?” Tanya Bunda
“Om Kusuma itu siapa Bun? Dia perhatian sekali dengan Deva.”
“Ayahmu”
“maksud Bunda”
“maaf Dev, Tri Wijaya, orang yang selama ini kamu anggap Ayah kandungmu itu bukanlah Ayahmu yang sebenarnya. Kusuma lah Ayahmu. Ayah biologismu.”
            Bagai petir disiang hari, kabar itu membuatku terkejut sekaligus bingung.
            “Bunda....”
            “maaf Dev, Bunda hanya bisa meminta maaf. Ini semua salah Bunda, sehingga kalian harus terpisah selama 17 tahun. Bunda rasa ini saat yang tepat untuk mengungkapkan semuanya” terdengar isak tangis Bunda
            Aku tidak dapat berkata-kata. Tangisku pun pecah. Kubiarkan Bunda menjelaskan panjang lebar. Aku ingin mengetahui yang sesungguhnya.
            “Bunda udah bercerai dengan Ayah tri sebulan ketika Bunda tahu Bunda hamil. Feeling seorang ibu mengatakan janin yang Bunda kandung adalah anak Kusuma. Bunda sangat yakin hal itu.”
“kenapa Bunda membiarkan Deva tumbuh tanpa mengetahui Ayah biologis Deva? Kenapa dia tidak mau mengakui Deva, Bun?”
“semua ini salah Bunda. Hanya Bunda. 17 tahun yang lalu Bunda hanyalah seorang janda dari keluarga biasa. Sedangkan dia pemuda terkaya di Surabaya. Bunda takut keluarganya mengira Bunda hanya menginginkan harta. Bunda rasa ini waktu yang tepat, disaat kita telah hidup bahagia dan berkecukupan. Bunda hanya ingin kalian bertemu dan mengenal satu sama lain.” Jelas Bunda dengan isak tangis yang belum berhenti
            “Deva nggak tahu harus ngomong apa lagi”
            “kamu marah dengan Bunda? Marah lah nak. Bunda terima”
            “nggak Bun. Untuk apa Deva marah? Semua telah terjadi. Bukan berarti dengan Deva marah takdir akan berubah. Ini sudah jalan takdir yang digariskan oleh Allah SWT.”
            “terima kasih sayang. Semua yang Bunda takutkan tidak terjadi. Kamu bisa menerimanya. Terima kasih. Assalamualaikum”
            “wa’alaikum salam” jawabku mengakhiri telepon
            Tidak pernah aku sangka jalan hidup yang serumit ini. Aku tidak bisa menyalahkan Bunda. Aku yakin selama ini Bunda telah berusaha memberikan yang terbaik untukku. Takdir ini tidak perlu disesali, tetapi perlu diperbaiki.
            Aku menemui Mas Andre di taman dan menceritakan semuanya. Sama denganku, Mas Andre cukup terkejut dengan kenyataan yang terungkap. Dia hanya menyarankan agar aku tidak mengacaukan semuanya.  Biarlah semua mengalir seperti biasa.
            Dia juga mengatakan sesuatu yang didengarnya kemarin. Ketika Om Kusuma mengangkat sebuah telepon di toilet restoran.
            Bagaimanapun dia tetap matahariku. Dia adalah bukti cinta kita berdua. Terimakasih kamu telah merawatnya hingga secantik ini, Rum.
            Awalnya Mas Andre hanya menganggap itu percakapan biasa. Tetapi kini kami mengerti, matahari yang dimaksudkan adalah aku. Akulah bukti cinta mereka berdua.
            Begitu senja terbenam dan bulan mulai muncul aku pulang kerumah. Ayah dan ibu terkejut melihat mataku yanng sembab. Aku hanya mengatakan ada sedikit Masalah dengan teman. Akuv tidak ingin mereka tahu yang sebenarnya. Biarlah semua seperti apa adanya. Ayah tetap menganggapku sebagai anaknya. Dan ibu tetap menganggapku anak tirinya.
            Setelah berbuka puasa dan shalat maghrib. Aku menelepon Bunda.
            “assalamualaikum Bun”
            “wa’alaikum salam. Ada apa Dev? Kamu baik-baik saja kan.”
            “tidak ada apa-apa Bun. Deva hanya ingin Bunda menceritakan kehidupan Ayah yang sekarang” pintaku
            “seperti yang kamu lihat kemarin, Ayahmu telah sukses menjadi seorang dokter spesialis mata. Dia menikah dengan Tante Risris, sahabat Bunda, dan dikaruniai seorang putra. Mungkin sekarang berusia 14 tahun.”
            “bisakah Deva bertemu dengan mereka?”
            “jangan sayang. Mereka tidak tahu yang sebenarnya. Tidak ada yang mengetahui hal ini. Hanya kamu, Bunda, Om Kusuma, dan nenek. Malam ini pukul 20.00 pergilah ke Restoran Cherie. Kamu akan bertemu Ayahmu disana.”
            “Bunda udah mengatur ini semua?”
            “tidak. Setiap tahun dimalam takbiran Ayahmu itu selalu menghabiskan malam di restoran Cherie. Mengenang perpisahan kami. Bunda yakin malam ini dia ada disana.”
            Segera aku berganti pakaian dan menelepon taksi. Malam itu jalanan sangat ramai dipenuhi anak-anak yang takbiran. Aku hanya bida berdoa semoga tidak terjebak macet.
Taksi itu menghentikan mesinnya tepat di depan sebuah restoran mewah di tengah kota Surabaya. Di depan restoran terdapat ukiran tilisan dari kayu. Dengan tergesa-gesa aku memasuki restoran. Sambutan ramah para pelayan tidak aku hiraukan.
Tepat ditengah ruangan terlihat sosok yang aku kenal. Sedang menyesap secangkir minuman dan memandangi selkembar foto. Cukup jauh dari tempatku berdiri sekarang. Perlahan-lahan aku mendekatinya. Ternyata itu adalah foto Bunda.
“Ayah” panggilku lirih
Orang yang aku panggil itu menoleh dan melihatku dengan tatapan terkejut.
“Deva, sejak kapan kamu berada disitu. Ayo duduk”
“kebetulan Om sedang sendiri”
Aku pun kemudian duduk di depan Om Kusuma. Kupandangi wajahnya. Ternyata memang benar. Ada kemiripan dengan wajahku, dan susunan giginya sama dengan gigiku.
“Ayah” kataku kembali. Tak terasa air mataku meleleh
“kamu...kamu sudah mengetahuinya?”
Tiba-tiba Om Kusuma berdiri dan memelukku erat. Hening. Sejenak hanya ada isak tangis dari kami. Tidak peduli dengan para pengunjung yang memperhatikan kami.
“anakku..anakku..maafkan Ayah”
“Deva sudah tahu semuanya. Tidak perlu Ayah meminta maaf, karena tidak ada yang perlul dimaafkan. Semua telah terjadi atas izin Allah SWT.”
Malam itu kami habiskan berdua. Jika tahun-tahun sebelumnya Om Kusuma mengenang malam takbiran sebagai malam kenangannya dengan Bunda. Aku akan mengenang malam takbiran sebagai malam terindah dalam hidupku. Untuk pertama kalinya aku dapat bertemu dengan Ayahku yang sesungguhya.
Terima kasih tuhan. Terima kasih atas berkahmu di Ramadhan kali ini. Ramadhan tahun ini menjadi sempurna dengan terungkapnya rahasia terbesar Bunda. Kali ini aku dapat menikmati kesempurnaan ramdhan yang hangat.